Tradisi Memanggang Diri Saat Hamil !

Yuliana Kaibuti (53) membersihkan tempat tidur yang terbuat dari bambu berukuran satu kali dua meter dengan tinggi sekitar 40 centimeter yang mulai berdebu. Tempat tidur dipan yang sudah mulai reot termakan rayap tersebut teronggok di salah satu sudut ruangan di rumahnya di pedalaman Fato Benao, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tubuh tambun Yuliana terlihat kesulitan saat membersihkan tempat tidur bambu tersebut, terutama saat harus berjongkok mengambil sesuatu dari kolong dipan. Sesuatu yang diambilnya dari kolong dipan ternyata merupakan sebuah wadah yang terbuat dari besi. Bentuknya seperti tutup drum dengan diameter sekitar 30 centimeter
Wadah yang sudah mulai berkarat termakan usia dan pinggirannya menghitam sisa pembakaran itu bukan alas untuk meletakkan sesajen, atau bukan tempat untuk menyimpan makanan. Benda bulat terbuat dari besi itu sengaja diletakkan di kolong dipan bambu sebagai wadah menyimpan arang atau kayu bakar yang akan dibakar di bawah tempat tidur untuk “memanggang” diri.

Panggang diri di saat hamil merupakan budaya turun temurun yang kerap dilakukan sebagian besar masyarakat Belu sejak dahulu kala guna menguatkan ibu hamil dan si jabang bayi agar terlahir sehat.

Budaya panggang dilakukan dengan cara membakar arang atau kayu bakar pada sebuah wadah besi yang diletakkan di kolong tempat tidur dipan di dalam satu ruangan tertutup. Sang ibu yang tengah hamil nantinya berbaring di atas tempat tidur dipan yang di kolongnya sudah diletakkan wadah berisi kayu bakar atau arang yang sudah disulut api.

Nantinya rasa panas dan asap sisa pembakaran arang atau kayu bakar di bawah dipan memenuhi ruangan sehingga sang ibu hamil berada persis di atasnya dengan hanya dibatasi dipan bambu tipis yang bercelah merasa hangat.

Dan yuliana Kaibuti serta ratusan, ribuan atau bahkan puluhan ribu ibu-ibu Kabupaten Belu melakukan hal tersebut agar merasa hangat, merasa kuat dan menyugesti diri bahwa hal tersebut bisa ikut juga menguatkan si jabang bayi.

Budaya tersebut berlangsung sejak bertahun-tahun yang lalu dan disarankan turun temurun oleh orang tua ke anak perempuannya yang tengah hamil. Namun pertanyaannya, benarkan budaya panggang itu baik untuk kesehatan ibu dan bayi?

Kepala Bidang Kesehatan Keluarga, Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, Theresia mengatakan budaya panggang tidak baik bagi ibu hamil dan bagi si jabang bayi. Pasalnya, asap sisa pembakaran arang atau kayu bakar tidak baik jika dihirup ibu yang tengah hamil terutama oleh si jabang bayi.

Maka tidak heran jika ada ibu yang sakit batuk akibat budaya panggang dan buruknya lagi kerap ditemukan bayi yang baru lahir mengalami gangguan paru akibat budaya tersebut. Karena itu, dinas kesehatan selalu memberikan penyuluhan kepada masyarakat di seluruh Kabupaten Belu untuk meninggalkan budaya panggang guna menghindari hal yang tidak diinginkan bagi si ibu dan bayinya.

Theresia mengatakan, penyuluhan yang dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu kini mulai memberikan hasil, karena pada saat ini banyak ibu-ibu yang kerap datang secara rutin ke posyandu yang ada di Belu mengaku sudah meninggalkan budaya panggang.
“Berdasarkan hasil survey yang dilakukan para bidan kami di seluruh wilayah Belu diketahui bahwa sejak tahun 2000 atau bahkan jauh sebelumnya banyak ibu yang sudah meninggalkan budaya panggang,” katanya.
Namun, ia mengakui bahwa budaya tersebut saat ini masih dilakukan oleh segelintir ibu yang tinggal di wilayah pedalaman dan tidak terjangkau oleh penyuluhan yang dilakukan dinas kesehatan.

Di wilayah pedalaman yang diduga masih terdapat ibu-ibu yang menjalani budaya panggang saat hamil di antaranya sebagian kecil wilayah Namfalus dan Biudukfoko. “Namun jumlah ibu-ibu yang menjalani budaya panggang sedikit sekali, karena itu kami terus intens melakukan penyuluhan mengenai bahaya budaya panggang,” katanya.

Yuliana Kaibuti sendiri mengakui bahwa sudah bertahun-tahun ini dirinya meninggalkan budaya panggang. Ibu 12 anak ini terakhir kali menyarankan budaya panggang kepada anak perempuannya yang tengah hamil pada tahun 2001. “Saya pernah kena marah oleh bidan karena pada tahun 2001 masih menyarankan anak saya yang tengah hamil menjalani budaya panggang,” katanya.

Namun demikian, ia masih menyimpan dipan bambu dan alat panggang di bawah kolong tempat tidur untuk berjaga-jaga jika suatu hari ada anggota keluarganya yang tengah hamil dan merasa sakit ia akan menggunakannya untuk menguatkan si ibu dan jabang bayi dalam kandungan.

Sumber: www.artikel-kesehatan-online.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar