Dengan cinta dan kasih sayang, penderita kanker dapat merasa tidak sendiri menjalani pengobatan serta kembali bersemangat hidup.
PENDERITA penyakit mematikan seperti kanker tidak hanya butuh pengobatan secara intensif, tetapi juga butuh sentuhan psikologis dalam perawatannya. Cinta dan kasih sayang dari keluarga sangat penting.
Penderita kanker, terutama stadium lanjut, umumnya diliputi kemarahan, ketakutan, dan depresi karena memikirkan penyakit yang dideritanya. Karena itu, dukungan keluarga amat diperlukan dalam perawatan pasien. Hal ini untuk meningkatkan semangat hidup dan komitmen pasien agar tetap menjalani pengobatan. Para tenaga medis seharusnya juga mengobatinya secara holistis.
Pengobatan holistis didasarkan atas dua hal, yaitu pengobatan fisik dan pengobatan psikis; dan keduanya sangat erat hubungannya. Seperti yang pernah dikatakan ahli filosofi Plato, ”Tidak ada gunanya mengobati badan tanpa mengobati pikirannya”.
”Orang yang didiagnosis penyakit kanker akan menurun kondisi jiwanya. Dia akan depresi, tertekan, putus asa, dan perasaan negatif lainnya,” kata ahli perawatan paliatif dari RS Kanker Dharmais, dr Maria Astheria Wijaksono, dalam acara diskusi ”Peran Cinta pada Terapi Kanker”, yang diselenggarakan CISC (Cancer Information & Support Center), Jakarta.
Untuk itu, lanjut dia, pemahaman terhadap kondisi psikis yang terjadi bagi penderita penyakit berat ini perlu diketahui, bukan saja oleh para penderita, melainkan juga bagi keluarga, orang di sekelilingnya, dan para dokter atau orang yang turut membantu penyembuhan penderita ini.
Menurut Maria, pengobatan yang disebut terapi paliatif yang melibatkan psikolog ini sebenarnya relatif baru. Pada 1960-an, saat terapi kemoterapi bagi pasien kanker baru ditemukan, dokter hanya menggenjot pengobatan dari segi fisik, sementara sisi psikologisnya diabaikan.
”Dokter tidak melihat bagaimana efek samping pasien kanker dari segi psikologis. Bagaimana dia harus kehilangan rambutnya saat kemoterapi, terpisah dari keluarganya berbulan-bulan, terpikir siapa yang mengantar anaknya ke sekolah, bagaimana kebutuhan seksual suami, dan lainnya,” tuturnya.
Namun dewasa ini, ujar dia, pengobatan secara menyeluruh di rumah sakit telah diterapkan. Dengan begitu, pasien akan terus didampingi seorang psikolog yang membantunya mengatasi kenyataan pahit ini.
”Peran istri atau suaminya, anak, keluarga, dan teman-teman sangat penting untuk meningkatkan semangat hidupnya lagi,” terang Maria.
Umumnya, Maria mengungkapkan ada lima fase reaksi emosional penderita ketika diberi tahu menderita kanker yang sudah lanjut. Fase pertama adalah menyangkal atau menolak kenyataan. Dia akan menyalahkan dokternya yang dinilai salah diagnosis. Lalu, dia akan marah terhadap kenyataan yang dihadapi. Bahkan, menyalahkan Tuhan karena berpikir dirinya orang baik dan menjalani gaya hidup sehat tetapi tetap menderita kanker.
”Dia mempertanyakan kepada Tuhan mengapa bukan orang lain saja yang jahat yang kena kanker. Saya orang baik,” katanya.
Fase ketiga adalah menimbang-nimbang. Setelah dokternya meyakinkan dirinya bahwa penyakitnya memang bersarang di tubuh, penderita tidak menyangkal lagi dan perlahan demi perlahan menerima hal itu. Baru seusai fase ini, penderita mulai diliputi depresi yaitu kesedihan yang berkepanjangan tentang hidup dirinya dan keluarganya. Setelah fase ini berlalu, akhirnya pasien sadar dan menerima kenyataan hidup bahwa dirinya menderita kanker ganas. Puncaknya, di fase kelima ini, dia memasrahkan diri kepada Tuhan tentang penyakitnya.
”Dia berpikir sudah tidak bisa lari ke mana-mana lagi, dan mau nggak mau menerima penyakit ini,” ujar Maria.
Apakah selesai sampai di sini? Maria menegaskan tidak. Sebenarnya ada satu fase lagi, yaitu pasien mulai menyesuaikan diri dengan keadaan dirinya. Misalnya pasien kanker payudara yang telah diangkat, dia tetap berdandan cantik, melayani suami, bersosialisasi seperti biasanya tanpa merasa risih kehilangan payudara seusai menjalani terapi fisik.
Nah, agar si pasien masuk tahap seperti itu, kata dia, memang perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Namun, hal itu bisa dipercepat dengan memberikan rasa cinta. Dengan cinta dan kasih sayang, penderita kanker dapat merasa tidak sendiri menjalani pengobatan serta kembali bersemangat hidup.
”Ada yang penyakitnya sama, rumah sakitnya sama, dokternya sama, obatnya sama, umurnya sama, tetapi ada yang lebih cepat sembuh dan ada yang tidak. Itu karena perasaan cinta dari keluarga pasien salah satunya lebih besar dibanding yang lain,” imbuh Maria.
Sumber: www.artikel-kesehatan-online.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar