SEBELUM berseranjang dengan istrinya, Denny punya “ritual” khusus: menenggak pil herbal. Kebiasaan ini sudah setahun dilakukan pria 45 tahun itu. Pengacara asal Bogor ini mengaku belakangan mudah capek. “Sekadar menjaga stamina saja,” kata ayah satu anak ini.
Denny-maaf, bukan nama asli--mencoba merek apa saja. Termasuk yang tanpa label dan hanya bertulisan huruf-huruf kanji. Sebagian besar bereaksi instan: satu jam langsung greng. Meski mengaku lebih kuat di atas ranjang, ia sesekali merasakan efek tak enak: muka panas, sakit kepala, diare ringan, sering buang air kecil.
Belakangan ia sadar: beberapa merek favoritnya ternyata masuk daftar 22 obat yang ditarik Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun lalu. Obat yang diklaim “herbal” itu terbukti dicampur sildenafil sitrat dan tadalafil--dua zat yang masuk kategori obat keras. Banyak pria tertipu lantaran ingin perkasa lewat “jalan pintas”.
Wimpie Pangkahila, Kepala Bagian Andrologi (ilmu tentang sistem reproduksi pria) dan Seksologi Universitas Udayana, Bali, menyatakan dua zat itu sejatinya bukan musuh. Selama digunakan dengan tepat di bawah pengawasan dokter, keduanya bisa memperbaiki fungsi ereksi. Kalau dipakai sembarangan, tanpa pengecekan riwayat kesehatan pasien dan keluhannya, obat-obatan itu bisa membahayakan--bahkan mematikan. Potensi seks bisa-bisa hilang permanen.
Lebih buruk lagi, obat-obatan yang dijual bebas ini dinyatakan ”tradisional”, ”herbal”, dan “tanpa efek samping”, sehingga orang merasa aman menelannya. Padahal semestinya obat herbal dan tradisional itu positif. Dalam banyak aspek, obat-obatan alami relatif lebih aman karena tanpa bahan kimia yang mungkin berefek samping bagi tubuh.
Sebaliknya, obat-obatan alami itu berfungsi, antara lain, mengurangi kandungan racun dan melindungi tubuh dari unsur-unsur merusak. Misalnya mahkota dewa, kunyit putih, jahe, lengkuas, bawang putih, daun sirih, dan sambiloto. Tak terhitung jumlahnya di Indonesia, yang kaya varietas tanaman.
Wimpie memberikan tip memilih obat herbal dengan cerdas. Selain mencermati kandungannya dan berkonsultasi ke dokter, konsumen bisa melihat dari cara kerjanya. Jika bereaksi instan, dapat dipastikan si “herbal” mengandung obat keras (dan berbahaya!). Tak seperti obat-obat dari bahan kimia--yang dapat bereaksi dalam hitungan menit atau jam--obat herbal membutuhkan waktu lebih lama: bisa beberapa minggu atau bulan.
Sumber: www.artikel-kesehatan-online.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar